BELAJAR SETIAP SAAT (CERPEN)

BELAJAR SETIAP SAAT
-Harsya Khair Syah-
Ditulis Pada Buku 
Kebahagiaanku 
"Kisah Inspiratif Para Pendidik dan Pembelajar"


Udara pagi ini terasa sangat sejuk. Kuawali hariku dengan penuh rasa syukur karena hingga saat ini aku masih diberi kesempatan untuk belajar memperbaiki diri, baik sebagai seorang pendidik maupun pembelajar. Sebagai pendidik, Allah menitipkan amanah untuk membina pembentukan karakter anak bangsa, dan sebagai pembelajar aku merasa bahwa belajar merupakan bagian dari ibadah, serta proses peningkatan kualitas sebagai hamba-Nya. 

Pagi ini, seperti biasa aku mempersiapkan diri untuk melakukan pembelajaran daring, sistem pembelajaran yang sudah berjalan selama satu tahun terakhir ini, sejak pandemi Covid-19. Di masa ini seorang guru harus kreatif dalam menyajikan pembelajaran secara daring agar para siswa juga terpacu untuk lebih bersemangat lagi dalam belajar meskipun tidak bertatap muka secara langsung. Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagiku. 

Setiap hari, setiap jam, aku harus memantau kehadiran siswa dan tugas siswa. Ada kekhawatiran tersendiri terkait pemahaman mereka atas penjelasan materi maupun instruksi yang aku berikan secara daring untuk penugasan. Namun demikian, Alhamdulillah dari 11 kelas atau sekitar 349 orang siswa yang menjadi tanggung jawabku, hampir 97% siswa mengerjakan tugasnya. Belum lagi aku harus membalas pesan satu persatu dari siswa yang mendapat kendala dalam belajar. Dapat dibayangkan betapa melelahkannya hal tersebut, terkadang sampai jari-jari tanganku terasa hampir “keriting” akibat tidak bisa jauh dari ponsel. Selain itu, sistem pembelajaran daring ini sebenarnya membuat para pengajar bekerja melebihi jam kerja biasanya. Karena semua dilakukan secara online, dan komunikasi mengenai pekerjaan berlangsung dari pagi hingga malam hari. Seakan tak ada batas waktu. 

Suatu hari menjelang malam aku mendapatkan informasi dari beberapa guru mata pelajaran lain bahwa salah satu siswaku tidak mengerjakan tugasnya, hampir sekitar empat minggu. Siswa tersebut tidak bisa dihubungi melalui telepon atau whatsapp, dan teman-teman di kelasnya pun tidak mengetahui kabarnya. Maka kuputuskan untuk mencari tahu keberadaannya. Sebagai wali kelas, aku cukup mengenal siswa-siswa di kelasku. Aku mengamati bagaimana karakter mereka masing-masing, dan pola pertemanan antara mereka di kelas. 

Aku mencoba mencari informasi dengan menghubungi teman dekatnya, namun ternyata ia sudah lama tidak ada kabar. Akhirnya kuputuskan untuk berkunjung ke rumahnya. Berdasarkan data siswa, ternyata rumahnya berlokasi di salah satu daerah yang cukup jauh dari keramaian, walaupun secara administratif daerah tersebut masih masuk ke wilayah kota. 

Hari minggu, setelah shalat subuh aku mulai meng-input nilai para siswa, aku harus pastikan semua siswa mampu mengerjakan tugas-tugas sekolah. Bergegas ku ambil ponsel untuk mengecek kembali beberapa pesan yang belum terbaca. 

”Assalamualaikum Pak, bagaimana soal Rina apakah sudah bisa dihubungi?” Isi pesan salah satu guru.

“Hari ini rencananya aku akan berkunjung ke rumahnya Pak, ternyata rumahnya di daerah Cipanengah.” Balasku. 

”Ooh… itu dekat dengan kebun Pak Nanang. Coba hubungi beliau, barangkali beliau bisa membantu.”

Aku langsung menghubungi pak Nanang, salah seorang guru di sekolah kami, dan meminta beliau untuk menemaniku berkunjung ke rumah Rina. Alhamdulillaah beliau bersedia menemani. Jam 8 pagi aku bersiap untuk berangkat. 

“Ayah mau kerja? Kan hari ini libur.” Suara gadis kecilku mengalihkan pikiranku sejenak. 

“Maaf ya Nak, Ayah ada urusan dulu sebentar. Setelah selesai nanti kita main lagi, ok!” Kupeluk erat gadis kecilku. 

Ada rasa bersalah menyelinap di ruang hatiku saat itu. Selama pembelajaran daring ini, hampir setiap hari aku sibuk di depan laptop menyiapkan bahan pembelajaran untuk mengajar di kelas online, bahkan hingga larut malam untuk membuat media pembelajaran. Keluarga memang selalu melihat kehadiranku di rumah, namun intensitas interaksi bersama mereka sangat terbatas, terutama untuk kedua putri kecilku. Sulit sekali mendapatkan waktu untuk bercengkrama bersama mereka. 

Singkat cerita, aku dan pak Nanang sampai di daerah Cipanengah. Tampak hamparan sawah dan ladang. Aku harus menyimpan motorku di pinggir jalan desa, karena untuk menuju ke rumah Rina kami harus melalui jalan setapak dan jembatan bambu untuk menyebrangi sebuah sungai yang berarus lumayan deras, dengan waktu tempuh sekitar 30 menit dari jalan utama. Akhirnya kami sampai di sebuah rumah kecil yang terletak di tengah-tengah sawah dan tidak ada rumah lain di sekitarnya. Aku melihat Rina yang sedang membopong seorang wanita paruh baya – mungkin ibunya, pikirku.

“Assalaamu’alaikum…” Aku menyapa Rina. 

“Wa’alaikusalaam…eh, Bapak…” Rina tampak heran dan terkejut dengan kedatangan kami. 

Setelah aku berbincang dengan kedua orangtua Rina dan menjelaskan maksud kedatanganku, Rina pun menceritakan kenapa Ia tidak lagi mengerjakan tugas-tugas dari sekolah. Ternyata kendalanya adalah sulit untuk mendapatkan sinyal dan orangtua Rina tidak punya ponsel, jadi sangat sulit untuk berkomunikasi. Ponsel yang Rina miliki untuk belajar daring adalah satu-satunya pemberian ayahnya hasil dari mengolah ladang. 

Ketika sebelum pandemi, Rina berangkat sekolah diantar ayahnya menggunakan motor, namun pulang sekolah Rina naik angkot dan berjalan kaki menuju rumahnya yang cukup jauh dari jalan utama. Selain kesulitan sinyal untuk mengerjakan tugas sekolah, Rina pun terpaksa abai dengan tugas sekolah karena harus merawat ibunya yang sedang sakit. 

“Rina, tugas sekolah harus tetap dikerjakan walapun secara daring. Rina juga harus tetap semangat untuk belajar ya!” Tegasku saat itu. 

“Iya, Pak.” jawab Rina pelan. 

“Bagaimana jika seluruh tugas Bapak print atau dicetak berupa modul, nanti modulnya bisa Rina ambil ke sekolah atau bapak antarkan ke rumah rina, waktu pengerjaannya paling lambat satu minggu, jadi rina kesekolahnya hanya satu minggu sekali saja, mengantar hasil tugasnya dan mengambil tugas selanjutnya dan bisa sekalian menanyakan hal-hal yang kurang dimengerti dari materi pelajaran saat datang ke sekolah.” Aku mencoba menawarkan solusi untuk Rina. 

“Iya, Pak, aku mau. Aku akan berusaha untuk mengerjakan tugas-tugas dari sekolah.” Pungkasnya.

Sebelum waktu shalat dzuhur, aku dan Pak Nanang pamit dari rumah Rina. Kami kembali menapaki jalan sempit lagi namun kali ini ada perasaan lapang, setidaknya kami sudah memberi kemudahan bagi salah satu siswa yang kesulitan dalam menjalankan proses belajar secara daring di masa pandemi ini. Bukan hanya siswa seperti Rina saja, tetapi semua siswa pada dasarnya berhak mendapatkan bantuan apabila mengalami kesulitan dalam proses belajar. 

Cerita di atas hanya salah satu pengalaman tentang bagaimana kita bersikap dan bertindak sebagai pendidik yang juga senantiasa menjadi pembelajar. Pada hakikatnya, kita bisa belajar setiap saat dari kehidupan yang kita jumpai sehari-hari agar menumbuhkan rasa empati kita terhadap sesama. Tugasku sebagai guru tidak hanya memberikan tugas kepada siswa, kemudian memberi nilai, lalu selesai begitu saja. Tidak, tidak hanya sampai di situ. Aku pun harus memahami bagaimana proses belajar mereka, apakah ada kendala yang dihadapi atau tidak, tentunya dengan cara menjaga komunikasi dengan mereka. Pandemi menuntut kita untuk bisa menyesuaikan diri dengan perubahan pada seluruh aspek kehidupan, tak terkecuali kegiatan belajar mengajar yang harus dilaksanakan secara daring. Kondisi ini menuntut kita untuk lebih kreatif dan tetap memberikan pembelajaran yang berkualitas bagi para siswa.


Harsya Khair Syah, seorang Pendidik di SMP Negeri 12 Tasikmalaya dan pembelajar. Rekam jejaknya dapat diikuti di website: www.harsyakhairsyah.my.id; Channel youtube: Harsya Khair Syah, dan Instagram @harsyakhairsyah.




Post a Comment

1 Comments

  1. bagus bangett bapakk sampe alya terharu bacanya hehe, semangat bapa nulisnyaa

    ReplyDelete