Teori Kedaulatan


Tahukah kalian, siapakah pemegang kedaulatan dalam suatu negara? Terdapat beberapa pendapat mengenai siapa pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara. Secara umum, terdapat beberapa teori-teori kedaulatan dari beberapa ahli kenegaraan. Adapun teori-teori kedaulatan tersebut, di antaranya sebagai berikut.

a. Teori Kedaulatan Tuhan

Teori kedaulatan Tuhan merupakan teori kedaulatan yang pertama dalam sejarah. Teori ini mengajarkan bahwa negara dan pemerintah mendapat kekuasaan tertinggi dari Tuhan sebagai asal segala sesuatu (causa prima). Menurut teori kedaulatan Tuhan, kekuasaan yang berasal dari Tuhan itu diberikan kepada tokoh-tokoh negara terpilih, yang secara kodrati ditetapkan-Nya menjadi pemimpin negara dan berperan selaku wakil Tuhan di dunia. Teori ini umumnya dianut oleh raja-raja yang mengaku sebagai keturunan dewa. Misalnya, para raja Mesir Kuno, Kaisar Jepang, Kaisar Tiongkok, Raja Belanda (Bidde Gratec Gods, kehendak Tuhan), dan Raja Ethiopia (Haile Selasi, singa penakluk dari suku Yuda pilihan Tuhan). Demikian pula dianut oleh para raja Jawa zaman Hindu yang menganggap diri mereka sebagai penjelmaan dewa Wisnu. Ken Arok bahkan menganggap dirinya sebagai titisan Brahmana, Wisnu, dan Syiwa sekaligus.

Pelopor teori kedaulatan Tuhan, antara lain, Augustinus (354-430), Thomas Aquino (1215-1274), F. Hegel (1770-1831), dan F.J. Stahl (1802-1861). Contoh negara yang menganut teori ini adalah Jepang pada masa lalu dengan kaisar Tenno Heika sebagai titisan Dewa Matahari. Karena berasal dari Tuhan, maka kedaulatan negara bersifat mutlak dan suci. Seluruh rakyat harus setia dan patuh kepada raja yang melaksanakan kekuasaan atas nama dan untuk kemuliaan Tuhan. Menurut Hegel, raja adalah manifestasi keberadaan Tuhan. Oleh karena itu, raja atau pemerintah selalu benar, tidak mungkin salah.

b. Teori Kedaulatan Raja

Pada abad pertengahan, teori kedaulatan Tuhan berkembang menjadi teori kedaulatan raja, yang menganggap bahwa raja bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Kekuasaan raja berada di atas konstitusi. Seorang raja bahkan tidak perlu menaati hukum moral agama. Justru karena statusnya sebagai representasi atau wakil Tuhan di dunia, maka pada saat itu kekuasaan raja berupa tirani bagi rakyatnya.

Peletak dasar utama teori ini adalah Niccolo Machiavelli (1467- 1527) melalui karyanya, II Principle. Ia mengajarkan bahwa negara harus dipimpin oleh seorang raja yang memiliki kekuasaan mutlak. Sementara itu, Jean Bodin menyatakan bahwa kedaulatan negara memang dilambangkan dalam pribadi raja. Namun, raja tetap harus menghormati hukum kodrat, hukum antarbangsa, dan konstitusi kerajaan (leges imperii). Di Inggris, teori ini dikembangkan oleh Thomas Hobes (1588- 1679) yang mengajarkan bahwa kekuasaan mutlak seorang raja justru diperlukan untuk mengatur negara dan menghindari homo homini lupus. Teori kedaulatan raja, beranggapan bahwa kekuasan tertinggi terletak di tangan raja sebagai penjelmaan kehendak Tuhan. Karena kedaulatan dimiliki para raja, akhirnya raja berkuasa dengan sewenang-wenang. Raja Louis XIV dari Prancis dengan sombongnya berkata “l’ettat C’st Moi” (negara adalah saya).

c. Teori Kedaulatan Negara

Menurut teori kedaulatan negara, kekuasaan tertinggi terletak pada negara. Sumber kedaulatan adalah negara yang merupakan lembaga tertinggi kehidupan suatu bangsa. Kedaulatan timbul bersamaan dengan berdirinya suatu negara. Hukum dan konstitusi lahir menurut kehendak negara dan diabdikan kepada kepentingan negara. Para penganut teori ini

melaksanakan pemerintahan tirani. Hal tersebut terbukti melalui sikap kepala negara yang bertindak sebagai diktator. Peletak dasar teori ini antara lain, Jean Bodin (1530-1596), F. Hegel (1770-1831), G. Jellinek (1851-1911), dan Paul Laband (1879-1958). Pengembangan teori Hegel menyebar di negara-negara komunis.

d. Teori Kedaulatan Hukum

Berdasarkan pemikiran teori kedaulatan hukum, kekuasaan pemerintah berasal dari hukum yang berlaku. Hukumlah (baik tertulis maupun tidak tertulis) yang membimbing kekuasaan pemerintah. Kekuasaan hukum merupakan kekuasaan tertinggi dalam negara. Hukum bersumber dari rasa keadilan dan kesadaran hukum. Negara melindungi hak-hak warga negara dan mewujudkan kesejahteraan umum. Etika normatif negara yang menjadikan hukum sebagai ”panglima”, mewajibkan penegakan hukum dan penyelenggaraan negara dibatasi oleh hukum. Pelopor teori kedaulatan hukum, diantaranya: Hugo de Groot, Krabbe, Immanuel Kant, dan Leon Duguit.

e. Teori Kedaulatan Rakyat

Teori kedaulatan rakyat beranggapan bahwa rakyat merupakan kesatuan yang dibentuk oleh suatu perjanjian masyarakat. Kemudian, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, rakyat memberikan sebagian kekuasaannya kepada penguasa yang dipilih oleh rakyat dan penguasa tersebut harus melindungi hak-hak rakyat. Tokoh yang mengemukakan teori ini adalah Montesquieu (1688-1755) dan J.J. Rousseau (1712-1778).

Beberapa pandangan pelopor teori kedaulatan rakyat, di antaranya sebagai berikut.

1) JJ. Rousseau, menyatakan bahwa kedaulatan itu merupakan perwujudan kehendak umum dari suatu bangsa merdeka yang mengadakan perjanjian masyarakat (social contract).

2) Johannes Althusius, menyatakan bahwa setiap susunan pergaulan hidup manusia, terjadi dari perjanjian masyarakat yang tunduk kepada kekuasaan, dan pemegang kekuasaan itu dipilih oleh rakyat.

3) John Locke, menyatakan bahwa kekuasaan negara berasal dari rakyat, bukan dari raja. Menurutnya, perjanjian masyarakat menghasilkan penyerahan hak-hak rakyat kepada pemerintah dan pemerintah mengembalikan hak dan kewajiban asasi kepada rakyat melalui peraturan perundang-undangan. John Locke menyimpulkan bahwa terbentuknya negara melalui:

a) pactum unionis, yaitu perjanjian antara individu untuk membentuk suatu negara; dan

b) pactum subjectionis, yaitu perjanjian antara individu dan wadah atau negara untuk memberi kewenangan atau mandat kepada negara berdasarkan konstistusi atau UUD.

4) Mostesquieu, seorang ahli dari Prancis, berpendapat bahwa agar kekuasaan dalam suatu negara tidak terpusat pada seseorang, kekuasaan dalam suatu negara dibagi ke dalam tiga kekuasaan yang terpisah (separated of power). Pemegang kekuasaan yang satu, tidak memengaruhi dan tidak ikut campur tangan terhadap kekuasan lainnya. Pembagian kekuasaan dalam negara, dibagi atas tiga kekuasaan, yaitu:

a) Kekuasaan legilatif, yaitu kekuasaan untuk membuat peraturan perundang-undangan dalam suatu negara,

b) Kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kekuasaan eksekutif sering disebut sebagai kekuasaan menjalankan pemerintahan, dan

c) Kekuasaan yudikatif, yaitu kekuasaan untuk menegakkan peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila terjadi pelanggaran. Kekuasaan yudikatif sering disebut sebagai kekuasaan kehakiman.


Post a Comment

0 Comments